English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 24 Agustus 2011

Bagaimana Hukum Mempunyai Boneka?

Telah banyak sekali pendapat dan fatwa yang berkenaan dengan permainan anak-anak, lalu apa hukum tentang boneka dan hewan-hewan yang berwujud (memiliki bentuk tubuh)? Beberapa ulama berpendapat bahwa kepemilikan benda-benda seperti itu diperbolehkan dengan syarat bahwa benda-benda itu harus diacuhkan dan tidak diperdulikan. Ada pula ulama yang mengharamkannya tanpa terkecuali. Hukum manakah yang benar? Apa hukum menggunakan kartu bergambar (poster) untuk me-ngenalkan huruf, angka, cara-cara berwudlu serta shalat kepada anak-anak? Sudilah kiranya Syaikh membimbing saya, dan semoga Allah membimbing anda. JAWAB: Tidak diperbolehkan memiliki gambar makhluk bernyawa (kecuali untuk sesuatu yang penting seperti gambar atau foto pada tanda pengenal, KTP dan SIM). Maka selain untuk kepentingan itu, tidak boleh memiliki gambar makhluk bernyawa, meskipun gambar tersebut digunakan sebagai sarana permainan anak atau untuk kepentingan pengajaran, karena keumuman larangan tentang gam-bar dan penggunaannya. Ada banyak sekali sarana permainan bagi anak-anak selain dari pada gambar, dan masih banyak sarana lain yang dapat digunakan bagi para pengajar atau pendidik selain dari pada sarana berupa gambar makhluk bernyawa. Orang-orang yang berpendapat bahwa memiliki permainan anak-anak berupa gambar makhluk bernyawa sebagai sarana permainan bagi anak-anak adalah dibolehkan, maka pendapat mereka tidak berdasar, karena mereka bersandar pada hadits tentang permainan Aisyah rha ketika ia masih kecil. (Al-Bukhari dalam bab al-Adab, (6130)) Padahal dikatakan bahwa hadits tersebut telah dihapuskan hukumnya (mansukh) oleh hadits-hadits tentang haramnya gambar. Juga dikatakan (dalam hadits Aisyah) bahwa gambar atau boneka yang ia mainkan bukan seperti gambar atau boneka yang ada pada saat ini, melainkan gambar atau boneka yang ada pada masa itu yang tidak menyerupai bentuk hewan seperti permainan anak-anak pada masa kini. Inilah pendapat yang rajih. Wallahu a’lam. Sedangkan gambar atau boneka yang dikenal pada saat ini sangat menyerupai hewan yang bernyawa, bahkan di antaranya ada yang dapat bergerak seperti gerakan hewan sesungguhnya.

Lebih Dulu Hutang atau Zakat?

Assalamua'alaikum wr wb.

Ustadz, apakah saya terkena wajib zakat profesi bila penghasilan bulanan saya sudah melebihi nisab tapi karena ada hutang/cicilan yang harus dibayar penghasilan saya jadi di bawah nisabnya (Rp 1. 300. 000). Mana yang harus didahulukan?
Wasssalam wr wb


Ustadz menjawab:
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Membayar zakat memang bagian dari rukun Islam yang lima. Dan seorang yang menolak untuk membayar zakat, selain berdosa, juga dianggap telah menghujat kedaulatan umat Islam. Sehingga khalifah Abu Bakar As-Shiddiq ra memerangi orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.

Disisi lain, yang namanya hutang juga merupakan kewajiban yang wajib untuk dibayarkan. Sekedar untuk menggambarkan bagaimana urgensi dan pentingnya hukum membayar hutang, bisa kita perhatikan ketentuan buat orang yang mati syahid.

Rasulullah SAW telah menetapkan bahwa seorang yang mati syahid dijanjikan Allah SWT bisa masuk surga tanpa hisab. Namun untuk itu ada syaratnya, yaitu bila masih punya hutang, tetap saja tidak bisa masuk surga. Sampai dia menyelesaikan terlebih dahulu urusan hutang-hutangnya kepada sesama manusia.

Nah, kalau kedua kewajiban ini kita sanding, akan menjadi sebuah pertanyaan menarik, mana yang harus didahulukan dari keduanya? Apakah kita harus bayar hutang dulu atau kira harus membayar zakat terlebih dahulu?
Untuk menjawab pertanyaan menggelitik ini, mari kita buka kitab fiqih zakat. Salah satu yang cukup populer adalah fiqih zakat susunan Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Setidaknya, kitab ini ada tersedia di hadapan kita.

Pada jilid pertama, penulis menerangkan kriteria harta yang wajib dizakatkan. Rupanya, tidak semua jenis harta terkena kewajiban zakat. Ada beberapa kriteria tertentu yang harus terpenuhi agar harta itu berstatus wajib dizakatkan.
Ringkasnya, di antara sekian banyak syarat yang disebutkan dalam kitab itu, salah satunya adalah bahwa harta itu telah melebihi kebutuhan dasar. Istilah yang dipopulerkan kitab itu adalah al-fadhlu 'anil alhajah al-ashliyah.

Seandainya ada seseorang yang pada dasarnya punya harta melebihi nisah, namun kebutuhan dasarnya jauh lebih besar, maka harta itu harus untuk menutupi kebutuhan paling dasar terlebih dahulu. Bila masih ada sisanya, barulah dikeluarkan zakatnya.

Selain itu, pemilik harta itu terbebas dari beban harus membayar hutang. Istilahnya as-salamatu minad-dain.
Maksudnya, seseorang baru dibebani untuk berzakat manakala harta yang dimilikinya bebas dari hak milik 'semu' milik orang lain. Seorang yang berhutang dan sudah jatuh tempo untuk membayarnya, jelas-jelas punya kewajiban nomor satu untuk membayar hutangnya. Sedangkan kewajiban bayar zakat baru muncul manakala hutang yang menjadi kewajiban membayar hutangnya terlebih dahulu.

Demikian kira-kira jawaban yang dapat kami berikan, wallahu a'lam bishshawab.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Sumber: http://www.ustsarwat.com/search.php?id=1189184277

TAMBAHAN HADITS:

Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)

Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.” (Faidul Qodir, 3/181)

Ibnu Majah membawakan hadits di atas pada Bab “Barangsiapa berhutang dan berniat tidak ingin melunasinya.”

Barangsiapa yang mengambil harta manusia, dengan niat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan dirinya.” (HR. Bukhari no. 18 dan Ibnu Majah no. 2411). Di antara maksud hadits ini adalah barangsiapa yang mengambil harta manusia melalui jalan hutang, lalu dia berniat tidak ingin mengembalikan hutang tersebut, maka Allah pun akan menghancurkannya. Ya Allah, lindungilah kami dari banyak berhutang dan enggan untuk melunasinya.

Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886) Oleh karena itu, seseorang hendaknya berpikir: “Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan mendesakkah saya berhutang?” Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya dengan istighfar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Sering Berlindung dari Berhutang Ketika Shalat
Bukhari membawakan dalam  kitab shohihnya pada Bab “Siapa yang berlindung dari hutang”. Lalu beliau rahimahullah membawakan hadits dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di akhir shalat (sebelum salam): ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).”

Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan adalah dalam masalah hutang?” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397)

Al Muhallab mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berlindung dari hutang dan hutang sendiri dapat mengantarkan pada dusta.” (Syarh Ibnu Baththol, 12/37)

Adapun hutang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya adalah tiga bentuk hutang:
[1] Hutang yang dibelanjakan untuk hal-hal yang dilarang oleh Allah dan dia tidak memiliki jalan keluar untuk melunasi hutang tersebut.
[2] Berhutang bukan pada hal yang terlarang, namun dia tidak memiliki cara untuk melunasinya. Orang seperti ini sama saja menghancurkan harta saudaranya.
[3] Berhutang namun dia berniat tidak akan melunasinya. Orang seperti ini berarti telah bermaksiat kepada Rabbnya.

Orang-orang semacam inilah yang apabila berhutang lalu berjanji ingin melunasinya, namun dia mengingkari janji tersebut. Dan orang-orang semacam inilah yang ketika berkata akan berdusta. (Syarh Ibnu Baththol, 12/38) Itulah sikap jelek orang yang berhutang sering berbohong dan berdusta. Semoga kita dijauhkan dari sikap jelek ini.

Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400.

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih) Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung melunasinya atau melunasi sebagiannya jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang berhutang dan yang memberi hutangan. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)

HIKMAH UTAMA:
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam “Penangguhan hutang oleh orang yang mempunyai kemampuan membayarnya, adalah satu KEZALIMAN!! halal maruah dan hukuman ke atasnya (iaitu pemberi hutang boleh mengambil tindakan ke atas diri dan maruahnya) (Riwayat Ibnu Majah)


Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam “Kurangkan dirimu daripada melakukan dosa, maka akan mudahlah bagimu ketika hendak mati. Kurangkan daripada berhutang nescaya kamu akan hidup bebas” (Riwayat Baihaqi)

Kemungkinan orang yang berutang itu melalaikan kewajibannya padahal ia memiliki kemampuan untuk membayarnya. Jika ini yang terjadi maka ia telah melakukan kezhaliman dikarenakan penangguhan pembayarannya sedangkan utang adalah amanah yang harus ditunaikan. Didalam sebuah hadits dari Abi Dzar ra yang mengatakan,”Aku bersama Nabi saw dan tatkala aku diperlihatkan Uhud, beliau saw bersabda,”Aku tidak ingin Uhud ini dirubah dengan emas serta masih ada padaku diatas tiga dinar kecuali satu dinar yang aku simpan untuk melunasi utangku.” (HR. Bukhori) Juga sabda Rasulullah saw : “Penangguhan pembayaran hutang bagi orang yang mampu membayarnya adalah kezaliman. “ (HR. Bukhori).